Rss

Sabtu, 25 Oktober 2014

sikap para ulama pada ayat mutasyabihat

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                   Latar Belakang
Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam Mutasyabbih ayat.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud : 1, sebagai berikut :
ا لرَ كِتَبُ اُحْكِمَتْ ا يتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُ نْ حَكِيْمُ خَبِيْ رٍ (1)
Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-Zumar : 39, sebagai berikut :
قُلْ يقَوْ مِ اعملوا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون (39)
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkan dan mutasyabihberdasarkan firman Allah dalam QS. ‘Ali Imran : 7, sebagai berikut :
هو ا لذي انز ل عليك الكتب منه ا يت محكمت هن ا م الكتب و ا خر متشبهت فاما ا الذين في قلو بهم زيغ فيتبعون ما تشا به منه ابتغاء الفتنة وابتغاء ويله وما يعلم تأ ويله الا الله والر سخون فى العلم يقو لون ا منا به كل من عند ربنا وما يذ كر الا اولواالالباب[1]
Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.[2]
Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-Mutasyabih”. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.

1.2                   Rumusan Masalah
Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan runtut sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu rumusan masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1.Apa pengertian dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
2.Bagaimana sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
3.  Apa macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
4.Bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih?
5.  Apa faedah dari adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?

1.3                   Tujuan Pembelajaran
Adanya suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah barang tentu semuanya mempunyai tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut berbada ataupun sama. Sedang pembelajaran pada saat ini yaitu dengan judul “Al-Muhkam Al-Mutasyabih” mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah :
1.      Dapat mengetahui pengertian dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
2.Dapat memahami sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
3.  Dapat mengerti macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
4.      Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih.
5.      Dapat memahami faedah dari adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari kata حكمت الد ابة واحكمت yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali.Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagainya membetulkan sebagian yang lain.[3]
          Sedangkan menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti berikut ini :
1.        Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
2.        Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayatmutasyabih adalah ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.[4]
3.        Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[5]
Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) danzhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham(ambigius).
2.2  Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna  sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya.[6] Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.[7]
Ada sedikit ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti Imam An-Nawawi, didalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.[8]
Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari :
1.      Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. ‘Ali Imran ayat 7 :
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2.      Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif,  mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”[9]
3.      Imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia mengatakan: Istawa adalah diketahui. dan bagaimananya adalah sesuatu yang tidah diketahui. Bertanya tentangnya adalah Bid’ah.[10]
   Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1.      Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2.      Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan artinya.
3.      Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama’ yang mumpuni saja.[11]
2.3  Sebab-Sebab Adanya AyatMutasyabbih
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam – macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal – hal yang pengetahuanya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal :
A. Kesamaran Lafal
1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa : kata Abban jarang terdapat dalam Al – Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya , ayat 32 : (untuk kesenangan kamu dan binatang – binatang ternakmu), sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al – Yamin bisa bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
3        Kesamaran dalam Lafal Murakkab
 Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
B. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat – ayat yang menerangkan sifat – sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak pernah melihatnya.
C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat Al – Baqarah yang artinya:
Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah – rumah dari belakangnya, akan tetapi kebijakan itu ialah kebijakn orang – orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang melaakukan ihrom baik haji maupun umroh.
2.4 Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam – macam ayat Mutasyabihat ada 3 (tiga) macam :
1.    Ayat – ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contoh : Artinya : “Dan pada sisi Allah–lah kunci – kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri”(Q.S. Al – An’am : 59)
2.    Ayat – ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh : pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dst.
3.    Ayat – ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan – urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang – orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.[12]

2.5  Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat mutasyabihat.
1)      Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a)      Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b)      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c)      Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d)     Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
2)      Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a)      Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b)      Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
c)      Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d)     Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e)      Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. [13]

ahim-Nyaatau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan se
BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.
Ulamak berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Sebab munculnya ayat muhkam mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu, Adanya kesamaran dalam lafadz, kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat.
Terdapat tiga macam ayat mutasyabih yaitu ayat yang tidak bisa difahami oleh manusia, yang bisa difahami semua orang dengan pemahaman yang dalam dan ayat yang bisa difahami oleh pakarnya saja.
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemafaman dan penggunaan logika akal.

3.2  Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui perbedaan antara ulamak satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena setiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulamak tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.












Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa
Anwar, Rosihon. 2004, Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Media
Djalal, Abdul, 2008, Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu
Hadi, Abd. 2010, Pengantar Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Surabaya:Graha Pustaa Islamic Media
Hermawan, Acep, 2011. ‘Ulumul Quran:Ilmu Untuk Memahami Wahyu, Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2012, Studi Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press
Zenrif, MF. 2008. Sintesis Paradigma Studi Al-Quran, Malang:UIN Malang Perss

[1]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2012, Studi Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press
[2] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Study Al-Quran, (Malang: UIN-Malang Perss, 2008),25
[3] Mana’ Khalil Al-Qattan,
[4]Tim Penyusun MKD
[5]Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, hal. 239
[6] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,2004), 128
[7] Mana’ Khalil Al-qattan, 307
[8] Ibid, 308
[9] Tim Penyusun MKD,
[10]Acep Hermawan, Ulumul Quran: ilmu Untuk Memahami Waahyu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 146
[11] Abd. Hadi, Pengantar Study ilmu-Ilmu Al-Quran, (Surabaya: Graha Pustaka Islamic Multimedia, 2010), 222
[12] Abdul Jalal,
[13] Abd, Jalal
sumber:http://ebdaaprilia.wordpress.com/2013/05/21/makalah-ulumul-quran-muhkam-mutasyabih/

0 komentar:

Posting Komentar